Peran kelompok tani dalam ketahanan pangan
Dalam upaya meningkatkan pembangunan ketahanan pangan, peranan kelembagaan
kelompok tani di pedesaan sangat besar dalam mendukung dan melaksanakan
berbagai program
Dalam upaya meningkatkan pembangunan ketahanan pangan, peranan kelembagaan
kelompok tani di pedesaan sangat besar dalam mendukung dan melaksanakan
berbagai program yang sedang dan akan dilaksanakan karena kelompok tani inilah
pada dasarnya pelaku utama pembangunan ketahanan pangan.
Keberadaan kelembagaan kelompok tani sangat penting diberdayakan karena
potensinya sangat besar. Berdasarkan data dari Badan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Departemen Pertanian, pada tahun 2002 terdapat 27 juta lebih kepala keluarga
(KK) yang bekerja di sektor pertanian. Dari jumlah tersebut, telah dibentuk
kelembagaan kelompok tani sebanyak 275.788 kelompok. Kelembagaan kelompok tani
ini sangat efektif sebagai sarana untuk kegiatan belajar, bekerja sama, dan
pemupukan modal kelompok dalam mengembangkan usahatani.
Pentingnya pemberdayaan kelompok tani tersebut sangat beralasan karena kalau
kita perhatikan keberadaan kelompok tani akhir-akhir ini - terutama sejak era
otonomi daerah dilaksanakan - ada kecenderungan perhatian pemerintah daerah
terhadap kelembagaan kelompok tani sangat kurang bahkan terkesan diabaikan
sehingga kelembagaan kelompok tani yang sebenarnya merupakan aset sangat
berharga dalam mendukung pembangunan ketahanan pangan belum berfungsi secara
optimal seperti yang diharapkan.
Mengingat semakin kompleks dan besarnya tantangan pembangunan ketahanan pangan
mendatang, terutama untuk mencapai kemandirian pangan, maka kelembagaan
kelompok tani yang tersebar di seluruh pelosok pedesaan perlu dibenahi dan
diberdayakan, sehingga mempunyai keberdayaan dalam melaksanakan usahataninya.
Untuk mencapai keberdayaan tersebut, program pemberdayaan kelompok tani yang
dilakukan harus dapat meningkatkan kemampuan kelompok tani dalam hal (1)
Memahami kekuatan (potensi) dan kelemahan kelompok; (2) Memperhitungkan peluang
dan tantangan yang dihadapi, pada saat ini dan masa mendatang; (3) Memilih
berbagai alternatif yang ada untuk mengatasi masalah yang dihadapi, dan (4)
Menyelenggarakan kehidupan berkelompok dan bermasyarakat yang serasi dengan
lingkungannya secara berkesinambungan.
Agar upaya memandirikan dan memberdayakan kelompok tani tersebut dapat
dilaksanakan, setidaknya ada empat langkah strategis yang harus dilakukan.
Pertama, peningkatan sumber daya manusia (SDM) petani. Hal ini sangat penting
dilakukan, karena menurut data dari BPS (Badan Pusat Statistik) 2001, ternyata
masyarakat yang berumur 15 tahun ke atas dan bekerja di bidang pertanian
sebanyak 10,66 juta jiwa tidak tamat SD (sekolah dasar) dan 5.758 juta jiwa
tidak pernah sekolah, sedang yang tamat SD sebanyak 15,932 juta jiwa. Upaya
peningkatan SDM petani ini dapat dilakukan melalui proses pembelajaran melalui
bimbingan penyuluhan, pelatihan, kursus, sekolah lapang, pendampingan dan
lainnya.
Materi dan cara penyampaiannya harus disesuaikan dengan kebutuhan petani dan
kemampuan petani sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi kelompok tani.
Ujung Tombak
Mengingat peranan penyuluh pertanian sebagai "ujung tombak" dalam
memberikan penyuluhan kepada kelompok tani, maka keberadaan penyuluh pertanian
termasuk Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) sebagai wadah pertemuan, uji coba dan
lainnya perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah, sehingga para penyuluh
pertanian ini dapat melaksanakan penyuluhan secara profesional.
Kedua, kemudahan dalam akses sarana produksi pertanian. Mengingat sarana
produksi seperti benih, pupuk, pestisida, permodalan, alat dan mesin pertanian
merupakan faktor (input) yang sangat menentukan hasil (output), maka
keberpihakan pemerintah dan pemangku kepentingan di bidang sarana produksi
pertanian ini sangat diharapkan kelompok tani.
Adanya slogan enam tepat (tepat mutu, jumlah, jenis, harga, waktu dan tempat)
dalam penyaluran sarana produksi hendaknya tidak hanya manis di dalam kata-kata
atau tulisan, tetapi benar-benar dapat diimplementasikan, sehingga benar-benar
dapat dirasakan kelompok tani.
Masih terjadinya kekurangan benih ketika musim tanam akan dilakukan dan
terjadinya kelangkaan pupuk ketika masa pemupukan akan dikerjakan, hanya merupakan
contoh kasus yang hendaknya dapat memacu pemerintah dan pemangku kepentingan di
bidang sarana produksi pertanian untuk bekerja lebih baik lagi. Sebab, jika
hal-hal tersebut tidak segera dibenahi dan masih dialami kelompok tani, sulit
rasanya para petani dapat meningkatkan produksi dan produktivitas usahataninya
secara optimal.
Untuk itu, berbagai lembaga pelayanan kelompok tani yang ada di pedesaan
seperti perbankan, Lembaga Usaha Perekonomian Pedesaan (LUEP), koperasi tani,
KUD, kios sarana produksi dan lainnya perlu lebih diberdayakan dan mendapat
perhatian pemerintah daerah setempat sehingga dapat meningkatkan tugas dan
fungsinya selaku mitra usaha petani dengan sebaik-baiknya.
Ketiga, akses terhadap informasi. Dalam era informasi sekarang ini, pendapat
yang mengatakan bahwa petani/ kelompok tani tidak memerlukan informasi adalah
pendapat yang sangat keliru. Karena itu dalam masa mendatang berbagai informasi
khususnya mengenai pembangunan ketahanan pangan perlu disebarluaskan kepada
petani, sehingga mereka dapat mengakses informasi/berita yang sedang dan akan
terjadi, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan pertanian. Misalnya
tentang akan tibanya musim kemarau/hujan, gejala adanya serangan hama dan
penyakit pada tanaman, perkembangan harga gabah di pasaran dan sebagainya.
Dengan mengetahui perkembangan yang sedang dan akan terjadi yang dapat
berpengaruh langsung terhadap usahatani yang dikerjakan, diharapkan para petani
dapat bekerja sama dengan aparat untuk mengantisipasi permasalahan yang akan
terjadi. Misalnya, ketika mengetahui harga gabah turun, para petani bisa
menyimpan gabahnya terlebih dahulu di lumbung pangan kelompok, dan baru
menjualnya ketika harga gabah sudah membaik dan menguntungkan.
Mengingat informasi pertama yang diterima petani/ kelompok tani lebih banyak
berasal dari petugas penyuluh pertanian dan penerangan, maka informasi yang
akan disampaikan harus diolah dan dikemas sesuai dengan bahasa dan kemampuan
daya serap petani, sehingga mudah dipahami.
Keempat, keberpihakan pemerintah pada sektor pertanian. Karena dari ketiga
strategi yang diuraikan di atas sangat erat kaitannya dengan tugas aparat
kelembagaan pemerintah di daerah sebagai fasilitator, motivator dan regulator,
maka berbagai keberpihakan setiap pemimpin daerah terhadap pembangunan
ketahanan pangan perlu terus ditingkatkan dan berbagai program yang
direncanakan dapat diimplementasikan di lapangan.
Dengan beberapa langkah strategis yang dipaparkan di atas, pada akhirnya selain
kemandirian petani/kelompok tani dapat terus ditingkatkan, berbagai program
pembangunan ketahanan pangan yang menjadi tanggung jawab pemerintah bersama
masyarakat diharapkan dapat dilaksanakan dengan baik sebagaimana diharapkan.
15
KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI
PERDESAAN Syahyuti
KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI
(GAPOKTAN)
SEBAGAI KELEMBAGAAN EKONOMI DI
PERDESAAN
Syahyuti
Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jl A.
Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT
Institutional
development is one of the fundamental component in all devices of
Agriculture,
Fishery, and Forestry Revitalization in 2005-2025. Actually, institutional
approach
have been a fundamental component in agriculture and rural development
programs.
Farmers institutions tend to only positioned as a means of the implementation
of
merely
project, not as part of efforts for more basic empowerment. In the future,
institutional
development should be designed to improve self-support community capacity
with
the expectation of their participation role as asset of rural community.
Establishment
of
farmers group alliance in each village, should also consider local social
capital as a base
of
local self-support principle, adopted through autonomy and empowerment.
Key
words : social institution, farmers group alliance, agriculture
revitalization, local
autonomy,
empowerment
ABSTRAK
Pengembangan
kelembagaan merupakan salah satu komponen pokok dalam
keseluruhan
rancangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) tahun
2005-2025.
Selama ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok
dalam
pembangunan pertanian dan perdesaan. Namun, kelembagaan petani cenderung
hanya
diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai
upaya
untuk pemberdayaan yang lebih mendasar. Ke depan, agar dapat berperan sebagai
aset
komunitas masyarakat desa yang partisipatif, maka pengembangan kelembagaan
harus
dirancang
sebagai upaya untuk peningkatan kapasitas masyarakat itu sendiri sehingga
menjadi
mandiri. Pembentukan dan pengembangan Gapoktan yang akan dibentuk di setiap
desa,
juga harus menggunakan basis social capital setempat dengan prinsip
kemandirian
lokal,
yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan.
Kata
kunci : kelembagaan, gabungan kelompok tani, revitalisasi pertanian,
otonomi
daerah,
pemberdayaan
PENDAHULUAN
Dari sisi iklim
makro, dunia pertanian di Indonesia saat ini berada pada
babak baru dengan
dikeluarkannya berbagai kebijakan yang tergolong memiliki
perspektif mendasar
dan luas. Dua di antara kebijakan tersebut adalah
16
Analisis
Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
pencanangan
Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 2005-2025
dan telah
dikeluarkannya Undang Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan. Undang-Undang ini merupakan
impian lama kalangan
penyuluhan yang sudah diwacanakan semenjak awal tahun
1980-an. Kelahiran UU
ini dapat pula mempunyai makna sebagai upaya untuk
mewujudkan
revitalisasi pertanian arti luas, meliputi pertanian, perikanan dan
kehutanan.
Pada kedua kebijakan
tersebut, permasalahan kelembagaan tetap
merupakan bagian yang
esensial, baik kelembagaan di tingkat makro maupun di
tingkat mikro. Di
tingkat makro, satu kelembagaan baru yang akan lahir adalah
Badan Koordinasi
Penyuluhan sebagai lembaga pemerintah non departemen, yang
akan merumuskan
secara terperinci tentang metode penyuluhan, strategi
penyuluhan, dan
kebijakan penyuluhan.
Di tingkat mikro,
akan dibentuk beberapa lembaga baru, misalnya Pos
Penyuluhan Desa dan
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Departemen
Pertanian menargetkan
akan membentuk satu Gapoktan di setiap desa khususnya
yang berbasiskan
pertanian. Ini merupakan satu lembaga andalan baru, meskipun
semenjak awal 1990-an
Gapoktan telah dikenal. Saat ini, Gapoktan diberi
pemaknaan baru,
termasuk bentuk dan peran yang baru. Gapoktan menjadi
lembaga gerbang (gateway
institution) yang menjadi penghubung petani satu desa
dengan
lembaga-lembaga lain di luarnya. Gapoktan diharapkan berperan untuk
fungsi-fungsi
pemenuhan permodalan pertanian, pemenuhan sarana produksi,
pemasaran produk
pertanian, dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang
dibutuhkan petani.
Tulisan ini menjadi
penting, karena sampai saat ini, konsep dan strategi
pembentukan dan
pengembangan Gapoktan tersebut masih dimatangkan
rumusannya di tingkat
Deptan. Dalam konteks tersebut, tulisan ini berupaya
memberikan peringatan
dan arahan kepada semua pihak berkenaan dengan
pengembangan
kelembagaan petani di perdesaan umumnya dan secara khusus
untuk pengembangan
Gapoktan.
Point utama yang ingin
disampaikan adalah perlu dihindari pengembangan
kelembagaan dengan
konsep cetak biru (blue print approach) yang
seragam, karena telah
memperlihatkan kegagalan. Pemberdayaan petani dan usaha
kecil di perdesaan
oleh pemerintah hampir selalu menggunakan pendekatan
kelompok. Salah satu
kelemahan yang mendasar adalah kegagalan pengembangan
kelompok dimaksud,
karena tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang.
Kelompok yang
dibentuk terlihat hanya sebagai alat kelengkapan proyek, belum
sebagai wadah untuk
pemberdayaan masyarakat secara hakiki. Introduksi
kelembagaan dari luar
kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan
lokal yang telah ada,
serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan.
Pendekatan yang top-down
planning menyebabkan partisipasi masyarakat tidak
tumbuh. Tulisan ini
ingin mengkaji secara kritis kebijakan Deptan untuk
17
KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI
PERDESAAN Syahyuti
pengembangan
Gapoktan, serta mengidentifikasi berbagai hambatan dan tantangan
yang akan dihadapi.
STRATEGI PENGEMBANGAN
KELEMBAGAAN DALAM
RANCANGAN RPPK
Pengembangan
kelembagaan perlu memperoleh perhatian khusus, karena
ia merupakan komponen
utama dalam strategi revitalisasi secara keseluruhan.
Salah satu ciri RPPK
adalah pelibatan banyak pihak sekaligus. RPPK melibatkan
hampir seluruh
institusi pemerintahan di tingkat pusat. Selain itu, RPPK juga
menyertakan dunia
usaha, kalangan petani dan nelayan, serta akademisi dan
lembaga masyarakat,
baik dalam penyusunannya maupun dalam proses
implementasinya. Atas
dasar itu, koordinasi dan sinkronisasi di antara berbagai
pihak yang terkait
akan menjadi faktor yang sangat menentukan, baik dalam
perumusan RPPK maupun
dalam mewujudkannya. Secara teoritis, “koordinasi”
dan “sinkronisasi”
merupakan dua perhatian utama dalam bidang kelembagaan.
Khusus untuk sektor
pertanian, dibutuhkan berbagai kebijakan dan strategi
mulai dari kebijakan
makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan
pengembangan
industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama
internasional. Serta
kebijakan mikro berupa kebijakan pengembangan
infrastruktur,
kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya
lembaga keuangan,
penelitian dan pengembangan, dan pengembangan organisasi
petani). Pada tingkat
lokal, pemerintah daerah juga perlu memperhatikan
pengembangan
infrastuktur pertanian, pengembangan kelembagaan berupa
pemberdayaan penyuluh
pertanian dan pengembangan instansi lingkup pertanian.
Lemahnya kelembagaan
pertanian, seperti perkreditan, lembaga input,
pemasaran, dan
penyuluhan; telah menyebabkan belum dapat menciptakan
suasana kondusif
untuk pengembangan agroindustri perdesaan. Selain itu,
lemahnya kelembagaan
ini berakibat pada sistem pertanian tidak efisien, dan
keuntungan yang
diterima petani relatif rendah.
Dari sisi
kelembagaan, akan dijumpai kendala yang bersifat fungsional,
karena pendekatan
strategi revitalisasi pertanian yang terkesan sektoral. Apabila
tujuan utama (ends)
dari revitalisasi ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
petani, maka
peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian,
perkebunan, dan
perikanan haruslah dilihat sebagai instrumen saja (means).
Dalam tabel ”Matrik
Keterkaitan Dukungan Kelembagaan Dalam
Pembangunan
Pertanian” (Badan Litbang Pertanian, 2005), disebutkan ada 11
kebijakan yang
dicakup dalam RPPK sektor pertanian. Dalam tabel tersebut
terlihat pembedaan
antara ”Kebijakan Pengembangan Kelembagaan” (point nomor
5) dengan ”Kebijakan
Pengembangan Organisasi Ekonomi Petani” (point nomor
18
Analisis
Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
7). Tampaknya
pembedaan seperti ini mengikuti pembedaan yang dilakukan
banyak kalangan,
bahwa ”kelembagaan” dan ”organisasi” adalah berbeda. Dalam
dokumen RPPK,
berbagai kelembagaan yang dimaksud dalam ”kebijakan
pengembangan
kelembagaan” adalah berupa lembaga keuangan perdesaan, sistem
perbankan di daerah,
lembaga keuangan lokal, dan lembaga pengawas mutu
produk-produk.
Sementara, dalam ”kebijakan pengembangan organisasi ekonomi
petani” terdapat
kelembagaan ketahanan pangan di perdesaan, dan kelembagaan
ekonomi petani di
perdesaan.
Pembedaan seperti ini
memperlihatkan bahwa “kelembagaan” adalah
sesuatu yang berada
di ”atas petani”, sedangkan “organisasi” berada di level
petani, sebagaimana
yang dianut kalangan ahli “ekonomi kelembagaan”. Menurut
North (2005), institution
adalah “the rules of the game”, sedangkan organizations
adalah “their
entrepreneurs are the players”. Pendapat ini diperkuat oleh Robin
(2005), yang
berpendapat bahwa “institutions determine social organization”.
Jadi, kelembagaan
merupakan wadah tempat organisasi-organisasi hidup.
Memperhatikan dokumen
RPPK, maka kelembagaan di RPPK dapat
dipilah menjadi tiga
level, yaitu level di pemerintahan daerah, dan level lokal di
tingkat petani. Level
pemerintah daerah perlu dibedakan dengan tegas, karena
dengan semangat
otonomi daerah, maka kewenangan daerah telah menjadi
relative besar.
Kelembagaan di pusat mengaitkan tata hubungan kerja antar
departemen, lembaga,
atau stakeholders. Pada tataran ini, kewenangan utama
kelembagaan adalah
dalam hal pembuatan kebijakan. Beberapa kebijakan yang
perlu dirumuskan
misalnya kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis
produksi berupa
kebijakan untuk peningkatan investasi swasta; penataan hak,
kepemilikan dan
penggunaan lahan; kebijakan pewilayahan komoditas; dan
kebijakan untuk
meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian.
Pada tataran pusat
tersebut terdapat banyak kebijakan dan strategi yang
terkait langsung
dengan pembangunan pertanian, namun kewenangannya berada
di berbagai instansi
lain. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan makro, kebijakan
moneter, kebijakan
fiskal, kebijakan pengembangan industri, kebijakan
perdagangan,
pemasaran, dan kerjasama internasional, kebijakan pengembangan
infrastruktur
khususnya pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan,
kebijakan
pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya lembaga keuangan,
fungsi penelitian dan
pengembangan, pengembangan SDM, dan pengembangan
organisasi petani),
kebijakan pendayagunaan dan rehabilitasi sumberdaya alam
dan lingkungan, kebijakan
pengembangan pusat pertumbuhan baru, dan kebijakan
pengembangan
ketahanan pangan.
Implementasi
kelembagaan dalam revitalisasi pembangunan pertanian
diharapkan tidak akan
mengulangi kesalahan-kesalahan dalam pengembangan
kelembagaan yang
sudah lalu. Untuk itu, para pelaksana perlu memahami tentang
“analisis
kelembagaan”. Dalam World Bank (2005a), institutional analysis adalah
“... helps to
identify the constraints within an organization that can undermine
19
KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI
PERDESAAN Syahyuti
policy
implementation. These constraints may exist at the level of internal
processes, concern
relationships among organizations (e.g., between ministries),
or be a product of
the way that the system is organized (reporting hierarchies) or
operates (the
financial year is not followed in practice and accounts are not
closed)”. Dalam analisis
kelembagaan, dipelajari kelembagaan-kelembagaan
formal maupun “soft
institutions” seperti tata aturan, maupun struktur kekuasaan
pada berbagai
tingkatan.
REVITALISASI
KELEMBAGAAN EKONOMI PETANI
Saat ini, meskipun
dengan kondisi yang bervariasi, di tingkat desa telah
ada berbagai
kelembagaan ekonomi petani, yaitu kelompok tani dan koperasi.
Dalam konteks
peningkatan kepemimpinan dan kelembagaan petani, Deptan akan
melakukan penguatan
kelompok tani dan pengembangan koperasi tani pada 436
kabupaten/kota di 32
propinsi, mengaktifkan forum pertemuan penyuluh
swakarsa, pertemuan
kontak tani, serta pendataan dan penumbuhan kelompok tani
dan kelembagaan
ekonomi petani.
Secara konseptual,
tiap kelembagaan petani yang dibentuk dapat
memainkan peran
tunggal atau ganda. Berbagai peran yang dapat dimainkan
sebuah lembaga adalah
sebagai lembaga pengelolaan sumberdaya alam (misalnya
P3A), untuk tujuan
aktivitas kolektif (kelompok kerja sambat sinambat), untuk
pengembangan usaha
(KUA dan koperasi), untuk melayani kebutuhan informasi
(kelompok Pencapir),
untuk tujuan representatif politik (HKTI), dan lain-lain.
Khusus untuk kegiatan
ekonomi, terdapat banyak lembaga perdesaan yang
diarahkan sebagai
lembaga ekonomi, di antaranya adalah kelompok tani, koperasi,
dan Kelompok Usaha
Agribisnis. Secara konseptual, masing-masing lembaga
dapat menjalankan peran
yang sama (tumpang tindih). Koperasi sebagai contoh,
dapat menjalankan
seluruh aktivitas agribisnis, mulai dari hulu sampai ke hilir.
Namun, ada keengganan
sebagian pihak untuk menggunakan ”koperasi” sebagai
entry point untuk pengembangan
ekonomi petani, yang mungkin karena kesan
negatif yang selama
ini disandangnya. Gapoktan pada hakekatnya bukanlah
lembaga dengan fungsi
yang baru sama sekali, namun hanyalah lembaga yang
dapat dipilih (opsi)
di samping lembaga-lembaga lain yang juga terlibat dalam
aktivitas ekonomi
secara langsung.
Pengembangan Gapoktan
dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan
aksesibilitas petani
terhadap berbagai kelembagaan layanan usaha, misalnya lemah
terhadap lembaga
keuangan, terhadap lembaga pemasaran, terhadap lembaga
penyedia sarana
produksi pertanian, serta terhadap sumber informasi. Pada
prinsipnya, lembaga
Gapoktan diarahkan sebagai sebuah kelembagaan ekonomi,
namun diharapkan juga
mampu menjalankan fungsi-fungsi lainnya. Terhadap
pedagang saprotan
maupun pedagang hasil-hasil pertanian, Gapoktan diharapkan
20
Analisis
Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
dapat menjalankan
fungsi kemitraan dengan adil dan saling menguntungkan.
Namun demikian, jika
Gapoktan dinilai lebih mampu menjalankan peranannya
dibandingkan dengan
kios saprodi ataupun pedagang pengumpul, maka Gapoktan
dapat menggantikan
peranan mereka.
Untuk menjalankan
fungsi pemenuhan kebutuhan informasi teknologi
pertanian ataupun
informasi pasar, Deptan akan membenahi kelembagaan
penyuluhan. Penataan
kelembagaan penyuluhan pertanian mulai dari propinsi
sampai ke desa, yaitu
berupa bantuan sewa/kontrak bagi 1698 BPP,
pengembangan 88 BPP
Model di 6 Propinsi RPPK, serta penguatan kelompok tani
dan pengembangan
koperasi tani (Badan SDM Pertanian, 2006). Selain itu, akan
dilakukan
pengangkatan 3.000 tenaga penyuluh pertanian honorer, revisi SK
Menkowasbangpan No.
19/1999 tentang jabatan fungsional penyuluh pertanian
dan angka kreditnya.
Selain itu juga ada penyediaan Biaya Operasional Penyuluh
(BOP) bagi 26.820
orang penyuluh pertanian, penyediaan alat komunikasi, dan
penyusunan buku kerja
bagi penyuluh pertanian.
Pengembangan
kelembagaan saat ini tidak lagi sama dengan era Bimas.
Keberhasilan Program
Bimas dahulu didukung secara sistematis dan terstruktur
yaitu didukung oleh political
will dan birokrasi yang kuat, sentralistis, penyediaan
subsidi, delivery
system yang baik, anggaran yang cukup besar, organisasi
penyuluhan, serta
prasarana dan sarana yang memadai. Penyuluh menjadi agen
untuk berbagai
fungsi, tidak hanya menghantarkan teknologi, tapi juga pemenuhan
saprotan dan modal
usahatani. Dengan skala pekerjaan yang besar tersebut,
penyelenggaraan
penyuluhan pertanian tidak mungkin dilaksanakan dengan
pendekatan individu,
namun dilakukan melalui pendekatan kelompok. Pendekatan
ini mendorong petani
untuk membentuk kelembagaan tani yang kuat agar dapat
membangun sinergi
antar petani, baik dalam proses belajar, kerjasama maupun
sebagai unit usaha
yang merupakan bagian dari usahataninya.
Menurut laporan
Deptan (2006), sampai dengan akhir tahun 2006, jumlah
kelembagaan petani
yang tercatat adalah 293.568 kelompok tani, 1.365 asosiasi
tani, 10.527 koperasi
tani, dan 272 P4S. Sekarang ini 375 kabupaten/kota atau 86
persen dari total
kabupaten/kota mempunyai kelembagaan penyuluhan pertanian
dalam bentuk
Badan/Kantor/Balai/Sub Dinas/Seksi/ UPTD/Kelompok Penyuluh
Pertanian. Sisanya,
yaitu 61 kabupaten/kota (14 %) bentuk kelembagaannya tidak
jelas. Sementara itu
di Kecamatan, kelembagaan penyuluhan pertanian yang
terdepan yaitu Balai
Penyuluhan Pertanian (BPP), pada saat ini dari 5.187
Kecamatan baru
terbentuk 3.557 unit (69 %).
KONSEP DAN STRATEGI
YANG DIANUT DEPTAN DALAM
PENGEMBANGAN GAPOKTAN
Sampai dengan tahun
2006, setidaknya sudah terbentuk 3.000 unit
Gapoktan. Khusus
untuk tahun 2007, Deptan menargetkan pembentukan 22 ribu
21
KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI
PERDESAAN Syahyuti
unit Gapoktan. Tujuan
utama pembentukan dan penguatan Gapoktan adalah untuk
memperkuat
kelembagaan petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah
kepada petani akan
terfokus dengan sasaran yang jelas (Deptan, 2006). Disini
terlihat bahwa,
pembentukan Gapoktan bias kepada kepentingan “atas”, yaitu
sebagai “kendaraan”
untuk menyalurkan dan menjalankan berbagai kebijakan dari
luar desa.
Pembentukan Gapoktan, meskipun nanti dapat saja menjadi lembaga
yang mewakili
kebutuhan petani sebagai representative institution, namun awal
terbentuknya bukan
dari kebutuhan internal secara mengakar. Ini merupakan
gejala yang berulang
sebagaimana dulu sering terjadi, yaitu hanya mementingkan
kuantitas belaka,
namun tidak berakar di masyarakat setempat. Target akhir adalah
aktifnya 66.000
Gapoktan hingga tahun 2009. Ini artinya, seluruh desa di
Indonesia akan
memiliki sebuah Gapoktan.
Kegiatan di tahun
2006 adalah mengumpulkan data profil kelembagaan
usaha petani di
tingkat desa di masing-masing wilayah. Berdasarkan data tersebut,
serta sesuai dengan
masalah yang dihadapi kelembagaan usaha petani tingkat desa,
maka pada tahun 2007
lembaga usaha petani/peternak di tingkat desa tersebut
akan dibimbing,
dilatih dan didampingi guna memperoleh akses terhadap
informasi pasar,
teknologi dan permodalan. Dengan demikian, pada tahun-tahun
mendatang fasilitasi
dan pengukuran pembangunan pertanian oleh dinas dan
instansi di daerah
maupun oleh propinsi dan pemerintah harus dilakukan melalui
Gapoktan yang ada di
masing-masing desa yang beranggotakan seluruh petani,
peternak, dan nelayan
di desa tersebut.
Gapoktan tersebut
akan senantiasa dibina dan dikawal hingga menjadi
lembaga usaha yang
mandiri, profesional dan memiliki jaringan kerja luas.
Lembaga pendamping
yang utama adalah Dinas Pertanian setempat, di mana para
penyuluh merupakan
ujung tombak di lapangan. Penguatan dari sisi lain adalah
melalui implementasi
berbagai kegiatan pemerintah yang didistribusikan ke desa,
dimana Gapoktan
selalu dilibatkan dalam setiap kegiatan yang memungkinkan.
Pembentukan Gapoktan
didasari oleh visi yang diusung, bahwa pertanian
modern tidak hanya
identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu ada
organisasi yang
dicirikan dengan adanya organisasi ekonomi yang mampu
menyentuh dan
menggerakkan perekonomian di perdesaan melalui pertanian, di
antaranya adalah
dengan membentuk Gapoktan (Sekjen Deptan, 2006). Unit-unit
usaha dalam Gapoktan
dapat menjadi penggerak perekonomian di perdesaan.
Untuk mendukung
rencana tersebut, tiap propinsi mulai tahun 2007 diwajibkan
untuk membuat cetak
biru (master plan) pengembangan agribisnis di
kabupaten/kota sesuai
komoditas unggulan.
Pembangunan pertanian
telah mengalami pertumbuhan pesat sejak tahun
1980 an,
komoditas-komoditas yang sebelumnya belum dikenal seperti kakao
mulai diolah dan
bernilai tinggi. Akan tetapi sejalan perkembangan pembangunan
pertanian, harus
diakui kebijakan makro belum sejalan dengan pengembangan
sektor riil
pertanian. Faktor faktor tersebut antara lain, masih tingginya suku bunga
22
Analisis
Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
bank sehingga
menyulitkan permodalan petani, infrastruktur yang belum
memadai, sistim alih
teknologi yang belum lancar, fluktuasi harga dan lemahnya
posisi tawar petani.
Gapoktan dibangun dalam upaya untuk memperkuat posisi
daya tawar petani
berhadapan dengan pihak luar (external institutions).
Gapoktan menjadi
lembaga gerbang (gateway institution) yang
menjalankan fungsi
representatif bagi seluruh petani dan kelembagaankelembagaan
lain yang levelnya
lebih rendah. Ia diharapkan menjadi gerbang
tidak hanya untuk
kepentingan ekonomi, tapi juga pemenuhan modal, kebutuhan
pasar, dan informasi.
KONSEP PERAN GAPOKTAN
DALAM PENGEMBANGAN
KELEMBAGAAN PERDESAAN
Menurut Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 93/Kpts/OT.210/3/1997
tentang Pedoman
Pembinaan Kelompok Tani-Nelayan, “kelompok tani-nelayan”
adalah kumpulan
petani-nelayan yang tumbuh berdasarkan keakraban dan
keserasian, serta
kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya
pertanian untuk
bekerjasama meningkatkan produktivitas usaha tani nelayan dan
kesejahteraan
anggotanya. Kelompok tani merupakan lembaga yang menyatukan
para petani secara
horizontal, dan dapat dibentuk beberapa unit dalam satu desa.
Kelompok tani juga
dapat dibentuk berdasarkan komoditas, areal pertanian, dan
gender.
Sementara itu,
“Gapoktan” adalah gabungan dari beberapa kelompok tani
yang melakukan usaha
agribisnis di atas prinsip kebersamaan dan kemitraan
sehingga mencapai
peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi
anggotanya dan petani
lainnya. Gapoktan merupakan Wadah Kerjasama Antar
Kelompok tani-nelayan
(WKAK), yaitu kumpulan dari beberapa kelompok taninelayan
yang mempunyai
kepentingan yang sama dalam pengembangan
komoditas usaha tani
tertentu untuk menggalang kepentingan bersama. Dalam
Kepmen tersebut,
dibedakan antara Gapoktan dengan Asosiasi Petani-Nelayan.
Dalam batasan ini,
asosiasi adalah kumpulan petani-nelayan yang sudah
mengusahakan satu
atau kombinasi beberapa komoditas pertanian secara
komersial.
Untuk meningkatkan
skala usaha dan peningkatan usaha kearah
komersial, kelompok
tani dapat dikembangkan melalui kerjasama antar kelompok
dengan membentuk
Gapoktan. Pada prinsipnya, baik Wadah Kerjasama Antar
Kelompok tani (WKAK)
ataupun Asosiasi Kelompok tani, apabila sudah memiliki
tingkat kemampuan
yang tinggi dan telah mampu mengelola usaha tani secara
komersial, serta
memerlukan bentuk badan hukum untuk mengembangkan
usahanya; maka dapat
ditingkatkan menjadi bentuk organisasi yang formal dan
berbadan hukum, sesuai
dengan kesepakatan para petani anggotanya. Disini
23
KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI
PERDESAAN Syahyuti
terlihat, bahwa
pengembangan Gapoktan merupakan suatu proses lanjut dari
lembaga petani yang
sudah berjalan baik, misalnya kelompok-kelompok tani.
Dengan kata lain,
adalah tidak tepat langsung membuat Gapoktan pada wilayah
yang secara nyata
kelompok-kelompok taninya tidak berjalan baik. Ketentuan ini
sesuai dengan pola
pengembangan kelembagaan secara umum, karena Gapoktan
diposisikan sebagai
institusi yang mengkoordinasi lembaga-lembaga fungsional di
bawahnya, yaitu para
kelompok tani.
Pemberdayaan Gapoktan
tersebut berada dalam konteks penguatan
kelembagaan. Untuk
dapat berkembang sistem dan usaha agribisnis memerlukan
penguatan kelembagaan
baik kelembagaan petani, maupun kelembagaan usaha
dengan pemerintah
berfungsi sesuai dengan perannya masing-masing.
Kelembagaan petani
dibina dan dikembangkan berdasarkan kepentingan
masyarakat dan harus
tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri.
Kelembagaan pertanian
tersebut meliputi kelembagaan penyuluhan (BPP),
kelompok tani,
Gapoktan, koperasi tani (Koptan), penangkar benih, pengusaha
benih, institusi
perbenihan lainnya, kios, KUD, pasar desa, pedagang, asosiasi
petani, asosiasi
industri olahan, asosiasi benih, P3A, UPJA, dan lain-lain.
Dari berbagai
literatur, setidaknya terdapat tiga peran pokok yang
diharapkan dapat
dimainkan oleh Gapoktan. Pertama, Gapoktan difungsikan
sebagai lembaga
sentral dalam sistem yang terbangun, misalnya terlibat dalam
penyaluran benih
bersubsidi yaitu bertugas merekap daftar permintaan benih dan
nama anggota.
Demikian pula dalam pencairan anggaran subsidi benih dengan
menerima voucher dari
Dinas Pertanian setempat. Gapoktan merupakan lembaga
strategis yang akan
merangkum seluruh aktifitas kelembagaan petani di wilayah
tersebut. Gapoktan
dijadikan sebagai basis usaha petani peternak di setiap
perdesaan.
Kedua, Gapoktan juga
dibebankan untuk peningkatan ketahanan pangan di
tingkat lokal. Mulai
tahun 2006 melalui Badan Ketahanan Pangan telah
dilaksanakan “Program
Desa Mandiri Pangan” dalam rangka mengatasi
kerawanan dan
kemiskinan di perdesaan. Pengentasan kemiskinan dan kerawanan
pangan dilakukan
melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat secara
partisipatif. Untuk
tahun 2006 kegiatan ini bejalan di 244 desa di 122 kabupaten
rawan pangan,
sedangkan dalam rencana 2007 akan diperluas menjadi 180
kabupaten rawan
pangan yang menjangkau sekitar 604 desa rawan pangan.
Dalam hal ini,
masyarakat yang tergabung dalam suatu kelompok tani
dibimbing agar mampu
menemukenali permasalahan yang dihadapi dan potensi
yang mereka miliki,
serta mampu secara mandiri membuat rencana kerja untuk
meningkatkan
pendapatannya melalui usahatani dan usaha agribisnis berbasis
perdesaan. Tahapan
selanjutnya adalah, bahwa beberapa kelompok tani dalam satu
desa yang telah
dibina kemudian difasilitasi untuk membentuk Gapoktan. Dengan
cara ini, petani
miskin dan rawan pangan akan meningkat kemampuannya dalam
mengatasi masalah
pangan dan kemiskinan di dalam suatu ikatan kelompok dan
24
Analisis
Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
gabungan kelompok
yang merupakan wahana untuk memperjuangkan nasib para
anggotanya sesuai
dengan aspirasi, kondisi sosial, ekonomi dan budaya setempat.
Masyarakat, melalui
gapoktan juga diharapkan mampu mengoptimalkan
pemanfaatan
sumberdaya lokal untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
bersama.
Ketiga, mulai tahun 2007,
Gapoktan dianggap sebagai Lembaga Usaha
Ekonomi Perdesaan
(LUEP) sehingga dapat menerima Dana Penguatan Modal
(DPM), yaitu dana
pinjaman yang dapat digunakan untuk membeli gabah petani
pada saat panen raya,
sehingga harga tidak terlalu jatuh. Kegiatan DPM-LUEP
telah dimulai
semenjak tahun 2003, namun baru mulai tahun 2007 Gapoktan dapat
sebagai penerima.
Dalam konteks ini, Gapoktan bertindak sebagai “pedagang
gabah”, dimana ia
akan membeli gabah dari petani lalu menjualkannya berikut
berbagai fungsi
pemasaran lainnya.
Dengan memperhatikan
banyaknya fungsi yang akan dijalankan, maka
khusus dari kalangan
Deptan, tiap Gapoktan akan didukung dari program
penyuluhan dan
penguatan kelompok dari Badan Pengembangan SDM Pertanian,
penguatan akses
teknologi tepat guna dari Badan Litbang Pertanian, dukungan
infrastruktur
pertanian dari Ditjen. Pengelolaan Lahan dan Air, bantuan dan
pembinaan usaha
pengolahan dan pemasaran dari Ditjen Pengolahan dan
Pemasaran Hasil
Pertanian, serta dukungan permodalan dari program KKP dan
atau Dana Penjaminan.
Selain dari Deptan, Gapoktan juga akan berinteraksi
dengan Direktorat
Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa, Departemen Dalam
Negeri. Agar tidak
terjadi tumpang tindih kegiatan, maka koordinasi untuk menata
pelibatan setiap
Gapoktan berada di Dinas Pertanian setempat bekerjasama dengan
penyuluh lapangan di
wilayah Gapoktan tersebut berada.
BERBAGAI KESALAHAN
DALAM PENGEMBANGAN
KELEMBAGAAN SELAMA
INI
Dalam program
pembangunan pertanian dan pengembangan masyarakat
perdesaan selama ini,
hampir tiap program mengintroduksikan satu kelembagaan
baru ke perdesaan.
Kelembagaan telah dijadikan alat yang penting untuk
menjalankan program
tersebut. Namun demikian, penggunaan strategi
pengembangan
kelembagaan banyak mengalami ketidaktepatan dan kekeliruan.
Berikut diuraikan
berbagai permasalahan dalam pengembangan kelembagaan,
khususnya bagi
kelembagaan yang tergolong ke dalam kelembagaan yang sengaja
diciptakan (enacted
institution), agar dapat dihindari (Syahyuti, 2003):
(1)
Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat
ikatan-ikatan
horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan
terdiri atas
orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya adalah
agar terjalin
kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar
25
KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI
PERDESAAN Syahyuti
mereka dapat
meningkat. Kelompok tani misalnya adalah kelompok orangorang
yang selevel, yaitu
pada kegiatan budidaya satu komoditas tertentu.
Untuk ikatan vertikal
diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas
pemerintah sulit
menjangkaunya.
(2) Sebagian besar
kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan
dan memudahkan tugas
kontrol bagi pelaksana program, bukan untuk
peningkatan social
capital masyarakat secara nyata. Adalah hal yang lazim,
setiap program
membuat satu organisasi baru, dengan nama yang khas. Jarang
sekali suatu program
dari dinas tertentu menggunakan kelompok-kelompok
yang sudah ada.
(3) Menerapkan pola
generalisasi, sehingga struktur keorganisasian yang dibangun
relatif seragam,
meniru bentuk kelembagaan usahatani padi sawah irigasi
teknis di Pantura
Jawa (Zuraida dan Rizal, 1993). Hal ini karena pengaruh
keberhasilan pilot
project Bimas tahun 1964 di Subang. Pembentukan
kelembagaan kurang
memperdulikan komplek hal-hal abstrak yang ada di
masyarakat
bersangkutan, yaitu berupa harapan, keinginan, tujuan, prioritas,
norma, kebutuhan, dan
lain-lain yang sering kali tidak sesuai dengan program
yang diintroduksikan.
Karena itulah keberhasilan program Pengendalian
Hama Terpadu (PHT)
pada petani pekebun lada di Lampung Utara tidak
sesukses penerapan
program tersebut di Subang Jawa Barat (Agustian et al.,
2003).
(4) Meskipun
kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan
cenderung individual,
yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada
kontak-kontak tani
memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak
mengajarkan bagaimana
meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena
tidak ada social
learning approach.
(5) Pengembangan
kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah
dari pengembangan
aspek kulturalnya. Struktur organisasi dibangun lebih
dahulu, namun tidak
diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap
berorganisasi belum
tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun
wadahnya sudah
tersedia.
(6) Pengembangan
kelembagaan diyakini akan terjadi jika dukungan material
cukup. Sebagai
contoh, pengembangan UPJA (Unit Pelayanan Jasa Alsintan)
dipahami dengan
memberikan bantuan traktor, tresher, pompa air, dan lainlain;
bukan bagaimana
mengelolanya dengan manajemen yang baik.
BERBAGAI PRINSIP YANG
HARUS DIPERHATIKAN DALAM
PENGEMBANGAN
KELEMBAGAAN PERDESAAN TERMASUK
GAPOKTAN
Didasarkan atas
perkembangan sosiopolitik yang terjadi, maka pengembangan
kelembagaan perlu
memperhatikan kecenderungan-kecenderungan yang
26
Analisis
Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
semakin menguat, dan
jangan hanya memposisikan “kelembagaan sebagai alat
proyek”. Setidaknya
perlu diperhatikan tiga aspek dalam pengembangan
kelembagaan, termasuk
Gapoktan, yaitu: (1) konteks otonomi daerah, (2)
pengembangan
kelembagaan sebagai sebuah bentuk pemberdayaan, dan (3)
kelembagaan sebagai
jalan untuk mencapai kemandirian lokal. Penyelenggaraan
otonomi daerah
ditekankan pada dua aspek yang sesungguhnya merupakan prinsip
dasar kemandirian
lokal, yaitu menciptakan ruang bagi masyarakat untuk
mengembangkan
dirinya, dan mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar
mampu memanfaatkan
ruang yang tercipta. Pengembangan Gapoktan sebagai
salah satu komponen
kelembagaan perdesaan, saling terkait secara fungsional
dengan konsep otonomi
daerah, pemberdayaan, dan kemandirian lokal.
Pengembangan
Kelembagaan dalam Konteks Otonomi Daerah
RPPK jangan sampai
terjebak kembali pada kekeliruan masa lalu, yang
berpedoman pada
perencanaan yang bersifat umum dan diterapkan secara
menyeluruh (grand
scenario) di seluruh wilayah. Menyosialisasikan rancangan
atau skenario yang
bersifat umum akan sulit dilaksanakan dan lebih banyak
bersifat mekanistik
dan lepas dari kespesifikan kondisi lokal, akan mematikan
inisiatif masyarakat
setempat sehingga menjadi kontraproduktif. Skenario yang
bersifat umum itu,
yang pada umumnya disusun dan dipikirkan oleh sekelompok
orang saja secara terpusat,
merupakan pendekatan blue print yang banyak
mengandung kelemahan
(Uphoff, 1986).
Perdesaan di
Indonesia, di samping bervariasi dalam kemajemukan
sistem, nilai, dan
budaya; juga memiliki latar belakang sejarah yang cukup
panjang dan beragam
pula. Hal ini perlu dicermati dalam memilih prinsip dasar
pengembangan dan
pembangunan perdesaan di Indonesia secara integral.
Kelembagaan, termasuk
organisasi, dan perangkat-perangkat aturan dan hukum
memerlukan
penyesuaian sehingga peluang bagi setiap warga masyarakat untuk
bertindak sebagai
aktor dalam pembangunan yang berintikan gerakan dapat
tumbuh di semua
bidang kehidupannya. Pembangunan masyarakat perdesaan
untuk menciptakan
kehidupan yang demokratis, baik dalam kegiatan dan aktivitas
ekonomi, serta
aktivitas sosial budaya dan politik haruslah berbasis pada beberapa
prinsip dasar yang
dikemukakan di atas, juga pada latar belakang sejarah, dan
kemajemukan etnis,
sosial, budaya, dan ekonomi yang telah hadir sebelumnya di
setiap desa.
Elemen-elemen tatanan, baik yang berupa “elemen lunak” (soft
element) seperti manusia
dengan sistem nilai, kelembagaan, dan teknostrukturnya,
maupun yang berupa
“elemen keras” (hard element) seperti lingkungan alam dan
sumberdayanya,
merupakan entitas yang dinamis yang senantiasa menyesuaikan
diri atau tumbuh dan
berkembang.
Dalam bagian
“Menimbang” pada UU No. 32 tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah,
disebutkan bahwa otonomi daerah diarahkan untuk
mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,
27
KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI
PERDESAAN Syahyuti
pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kita perlu
mempelajari apa sesungguhnya makna filosofis dari prinsip
keotonomian? Pada
tingkat terendah, otonomi mengacu pada individu sebagai
perwujudan dari
hasrat untuk bebas (free will) yang melekat pada diri-diri manusia
sebagai salah satu
anugerah paling berharga dari Sang Pencipta (Basri, 2005).
Free will inilah yang
memungkinkan individu-individu menjadi otonom sehingga
mereka bisa
mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di dalam dirinya
secara optimal.
Individu-individu yang otonom ini selanjutnya akan membentuk
komunitas yang
otonom, dan akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul. Jadi,
pada hakekatnya,
individu-individu yang otonom menjadi modal dasar bagi
perwujudan otonomi
daerah yang hakiki. Dengan dasar ini, maka penguatan
otonomi daerah harus
membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi
setiap pelaku, bagi
setiap individu.
Satu konsep yang
dekat dengan otonomi daerah adalah “local
government”. Menurut Wolman and
Goldsmith (1990), Local Government
Administration (LGA) adalah: “….
the government’s ability to have an
independent impact on
the welfare of the residents of the local jurisdiction”. Jadi,
disini ditekankan
kepada perlunya mencapai kemampuan dan kemandirian
masyarakat. Sedikit
lebih luas, Boyne (1996) mendefiniskan menjadi: “… powers
the ability to
innovate, experiment, and develop policies that can vary by
jurisdiction”. Selanjutnya, Kirlin
(1996) merubah “government” menjadi
“governance”, dan
mendefinisikannya sebagai “… capacity as the ability to make
and carry through
collective choices for a geographically defined group of
people”. Pada definisi Kirlin
terlihat perlunya keterlibatan masyarakat setempat.
Kemampuan pemerintah
terbentuk melalui dukungan institusi-institusi lain seperti
aturan yang
konstitutional, pemerintah lain yang selevel, lembaga pengadilan, dan
infrastruktur
kewarganegaraan, yang digambarkan dengan luas meliputi unsurunsur
media massa, asosiasi
kewarganegaraan, dan kelompok-kelompok komunitas
(Chapman, 1999).
Dalam sistem apapun,
secara prinsip ada tiga bentuk utama yang dapat
dilakukan negara
kepada warganya. Secara berurutan adalah assistance,
cooperation, dan service; tergantung
kepada potensi dan kondisi masyarakatnya,
terutama kemampuan
untuk pemecahan masalah. Dalam assistance, pemerintah
menjadi pelaksana (executing
and implementing role). Pada cooperation, peran
negara dan masyarakat
seimbang; sedangkan pada pola service, negara lebih pasif.
Otonomi daerah, atau
otonomi lokal, merupakan hal yang penting karena mampu
memainkan setidaknya
tiga peran yaitu: (i) untuk memaksimumkan nilai, (ii)
sebagai lembaga yang
memberi peluang kepada akses rakyat terhadap pemerintah,
dan (iii) sebagai
kompetitor terhadap lembaga lain sehingga kondisi-kondisi
efisiensi dapat
dicapai. Karena beragamnya persoalan antarwilayah maka tak ada
28
Analisis
Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
pendekatan yang "one
solution fits all" dalam pengembangan kelembagaan.
Secara konseptual,
otonomi daerah merupakan wadah yang baik untuk berkembangnya
civil society dan menjamin
berjalannya mekanisme checks and balances
antara pemerintah dengan
warganya.
Pengembangan
Kelembagaan sebagai Bentuk Pemberdayaan
Pemberdayaan (empowerment)
yang berasal dari kata dasar “empower”
bermakna sebagai “to
invest with power, especially legal power or officially
authority”, atau “... taking
control over their lives, setting their own agendas,
gaining skill,
building self-confidence, solving problems and developing selfreliance”.
Pemberdayaan dapat
dilakukan terhadap individual, kelompok sosial,
maupun terhadap
komunitas.
Dari sisi paradigma,
pemberdayaan lahir sebagai antitesis dari paradigma
developmentalis.
Dalam Payne (1997), disebutkan bahwa pada intinya
pemberdayaan adalah “to
help clients gain power of decision and action over their
own lives by reducing
the effect of social or personal blocks to exercising existing
power, by increasing
capacity and self confidence to use power and by
transferring power
from the environment to clients”. Pemberdayaan
mengupayakan
bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha
mengontrol kehidupan
mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa
depan sesuai dengan
keinginan mereka. Inti utama dari pemberdayaan adalah
tercapainya
“kemandirian”.
Bank Dunia selama ini
telah memberi perhatian besar kepada tiga hal
untuk meningkatkan
hasil-hasil pembangunan, yaitu “empowerment, social
capital, and
community driven development (CDD)”. Ketiga konsep ini
menekankan kepada
inklusivitas, partisipasi, organisasi, dan kelembagaan.
Empowerment merupakan hasil dari
aktifitas pembangunan, social capital dapat
diposisikan sekaligus
sebagai proses dan hasil, sedangkan CDD berperan sebagai
alat operasional
(World Bank, 2005b).
Konsep empowerment
mendapat penekanan yang berbeda-beda di
berbagai negara,
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Satu hal yang
esensial dalam
pemberdayaan adalah ketika individu atau masyarakat diberikan
kesempatan untuk
membicarakan apa yang penting untuk perubahan yang mereka
butuhkan. Ini akan
berimplikasi kepada sisi supply dan demand tentang
pembangunan,
perubahan lingkungan di mana masyarakat miskin hidup, dan
membantu mereka
membangun dan mengembangkan karakter mereka sendiri.
Pemberdayaan bergerak
mulai dari masalah pendidikan dan pelayanan kesehatan
kepada persoalan
politik dan kebijakan ekonomi. Pemberdayaan berupaya
meningkatkan
kesempatan-kesempatan pembangunan, mendorong hasil-hasil
pembangunan, dan
memperbaiki kualitas hidup manusia.
29
KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI
PERDESAAN Syahyuti
Tidak ada satu bentuk
kelembagaan khusus untuk pemberdayaan, namun
ada elemen-elemen
tertentu agar upaya pemberdayaan dapat berhasil. Beberapa
kunci dalam
pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan adalah: adanya
akses kepada
informasi, sikap inklusif dan partisipasi, akuntabilitas, dan
pengembangan
organisasi lokal.
Terdapat dua prinsip
dasar yang seyogyanya dianut di dalam proses
pemberdayaan. Pertama,
adalah menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat
untuk mengembangkan
dirinya secara mandiri dan menurut cara yang dipilihnya
sendiri. Kedua,
mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan ruang
atau peluang yang tercipta tersebut.
Kebijakan ini
diterjemahkan misalnya di bidang ekonomi berupa
peningkatan
aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan pasar,
sedangkan di bidang
sosial politik berupa tersedianya berbagai pilihan bagi
masyarakat (choice)
untuk menyalurkan aspirasinya (voice). Upaya pemberdayaan
masyarakat desa dalam
kehidupan politik dan demokrasi, diperlukan cara pandang
atau pendekatan baru,
karena perubahan yang terjadi pada beberapa dekade
terakhir telah
melahirkan berbagai realitas yang tidak mungkin dimengerti atau
dipahami apalagi
dikelola dengan menggunakan paradigma atau cara pandang
lama.
Pengembangan
Kelembagaan dalam Upaya Mewujudkan Kemandirian
Lokal
Menurut Taylor dan
Mckenzie (1992), inisiatif lokal sangat diperlukan
dalam pembangunan
perdesaan, baik dari sisi pemerintah maupun komunitas
setempat. Dari sisi pemerintah,
inisiatif lokal dibutuhkan apabila pemerintah
belum mampu
memberikan pelayanan yang memadai, sementara kemampuan
perencanaan pusat
juga dalam kondisi lemah. Dari sisi masyarakat lokal, di
antaranya adalah
karena masih banyaknya sumberdaya yang belum termanfaatkan,
yang dipandang akan
lebih efektif apabila menggunakan strategi lokal.
Pemberdayaan berarti
mempersiapkan masyarakat desa untuk memperkuat diri
dan kelompok mereka
dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan,
kepemimpinan, sosial ekonomi,
dan politik dengan menggunakan basis
kebudayaan mereka
sendiri.
Pendekatan
pembangunan melalui cara pandang kemandirian lokal
mengisyaratkan bahwa
semua tahapan dalam proses pemberdayaan harus
dilakukan secara
terdesentralisasi. Upaya pemberdayaan dengan prinsip
sentralisasi,
deterministik, dan homogen adalah hal yang sangat dihindari. Karena
itu upaya
pemberdayaan yang berbasis pada pendekatan desentralisasi akan
menumbuhkan kondisi
otonom, di mana setiap komponen akan tetap eksis dengan
berbagai keragaman (diversity)
yang dikandungnya. Upaya pemberdayaan yang
berciri sentralisitik
tidak akan mampu memahami karakteristik spesifik tatanan
30
Analisis
Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
yang ada, dan
cenderung akan mengabaikan karakteristik tatanan. Sebaliknya
upaya pemberdayaan
yang dilakukan secara terdesentralisasi akan mampu
mengakomodasikan
berbagai keragaman tatanan.
Cara pandang
“kemandirian lokal” adalah suatu alternatif pendekatan
pembangunan yang
dikembangkan dengan berbasis pada pergeseran konsepsi
pembangunan, serta
pergeseran paradigma ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
diharapkan dapat
diposisikan sebagai pendekatan pembangunan bangsa Indonesia,
atau minimal sebagai
masukan bagi perumusan pendekatan dan atau paradigma
pembangunan
Indonesia.
Pemberdayaan desa
khususnya pemberdayaan politik masyarakat desa,
mengandung dua
pendekatan yang seakan-akan saling bertolak belakang atau
merupakan paradox
pemberdayaan desa. Pada satu sisi, pemberdayaan desa
seyogyanya diletakkan
pada upaya untuk meningkatkan kualitas harmoni
kehidupan seluruh
warga desa, akan tetapi pada sisi yang lain pemberdayaan
dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas interkoneksitas (fungsional) antara satu
tatanan dengan
tatanan yang lainnya yang berada di luar tatanan desa.
Interkoneksitas
seperti ini memiliki potensi besar untuk merusak kondisi harmoni
yang dimaksudkan
sebelumnya. Berdasarkan kondisi paradoxal ini maka
penyusunan skenario
yang berlaku umum (grand scenario) di seluruh wilayah
sangat tidak mungkin.
Kebijaksanaan pemberdayaan desa haruslah bersifat
kasuistik, dan kontekstual,
yang disusun secara otonom masing-masing daerah.
Perumusan format
upaya pemberdayaan masyarakat desa haruslah
berbasis pada prinsip
dasar, yaitu bagaimana menciptakan peluang bagi
masyarakat untuk
meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk
memanfaatkan peluang
tersebut. Dalam konteks politik, prinsip ini merupakan
wujud pemberian
pilihan (choice) kepada masyarakat dan juga meningkatkan
kemampuan masyarakat
untuk menyuarakan aspirasinya (voice). Implementasi
prinsip ini jelas
tidak harus baku atau standar, akan tetapi akan tergantung pada
kondisi masing-masing
masyarakat.
Kemandirian lokal
menunjukkan bahwa pembangunan lebih tepat bila
dilihat sebagai
proses adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat dari pada sebagai
serangkaian upaya
mekanistis yang mengacu pada satu rencana yang disusun
secara sistematis,
Kemandirian lokal juga menegaskan bahwa organisasi
seharusnya dikelola
dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan
semangat pengendalian
yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini
(Amien, 2005).
SIKAP YANG HARUS
DIBANGUN UNTUK PENGEMBANGAN
GAPOKTAN
Kegagalan
pengembangan kelembagaan petani selama ini dilatarbelakangi
oleh sikap yang
keliru. Para perencana menganggap bahwa kelembagaan lokal
31
KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI
PERDESAAN Syahyuti
dianggap tidak
memiliki “jiwa” ekonomi yang memadai, karena itu harus diganti.
Pola pikir ini datang
dari ideologi modernisasi yang dipeluk pemimpin-pemimpin
negara berkembang
pada umumnya. Ciri kelembagaan pada masyarakat tradisional
adalah dimana
aktivitas ekonomi melekat (embeded) pada kelembagaan
kekerabatan dan
komunitas. Pemenuhan ekonomi merupakan tanggung jawab
kelompok-kelompok
komunal genealogis. Ciri utama kelembagaan tradisional
adalah sedikit
kelembagaan namun banyak fungsi (Saptana et al., 2003). Beda
halnya dengan pada
masyarakat modern yang dicirikan oleh munculnya banyak
kelembagaan dengan
fungsi-fungsi yang spesifik dan sempit-sempit.
Untuk pengembangan
Gapoktan, maka strategi yang diterapkan semestinya
tidak mengulangi lagi
kesalahan-kesalahan masa sebelumnya. Berbagai
strategi yang
semestinya ditempuh adalah:
Pertama, kelembagaan adalah
sebuah opsi, bukan keharusan. Apapun
kelembagaan yang akan
diintroduksikan di perdesaan, mestilah terlebih dahulu
merumuskan apa
kegiatan yang akan dijalankan, baru kemudian dipilih apa wadah
yang dibutuhkan.
Jadi, rumuskan dulu aktivitasnya, lalu tentukan wadahnya.
Berdasarkan konsep
sistem agribisnis, aktivitas pertanian perdesaan tidak
akan keluar dari
upaya untuk menyediakan sarana produksi (benih, pupuk, dan
obat-obatan),
permodalan usahatani, pemenuhan tenaga kerja, kegiatan berusaha
tani (on farm),
pemenuhan informasi teknologi, serta pengolahan dan pemasaran
hasil pertanian.
Sebagaimana sudah dijelaskan di depan, kelembagaan yang
diintroduksikan saat
ini sesungguhnya telah tumpang tindih. Untuk satu fungsi
tersedia banyak
kelembagaan, sedangkan satu kelembagaan juga dapat
menjalankan berbagai
fungsi. Tumpang tindih tersebut dipaparkan pada Tabel 1.
Tabel
1. Matrik Fungsi-fungsi Agribisnis beserta Opsi Lembaga-lembaga yang dapat
Menjalankan
Fungsi
Tersebut dalam Kegiatan Pertanian di Perdesaan
Lembaga
yang dapat melakukan fungsi tersebut
Fungsi
Kel.
tani Gapoktan
P3A
KUA Koperasi
UPJA
Pos
Penyuluhan
Desa
Klinik
Agribisnis
Kel.
Pencapir
1.
penyediaan
saprotan
ü ü - ü ü ü - - -
2.
penyediaan modal ü ü - ü ü ü - - -
3.
penyediaan air
irigasi
ü - ü - - - - - -
4.
kegiatan usahatani ü ü - - - ü - - -
5.
pengolahan ü ü - ü ü ü - - -
6.
pemasaran ü ü - ü ü - - -
-
7.
penyediaan informasi
teknologi
ü ü - - - ü ü ü ü
8. penyediaan
informasi
pasar
ü ü - ü ü ü ü ü ü
32
Analisis
Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
Dari tabel tersebut
terlihat, bahwa sebuah kelompok tani yang berjalan
baik misalnya, bahkan
dapat menjalankan seluruh fungsi agribisnis tersebut tanpa
bantuan kelembagaan
lain. Di sisi lain, dari tabel matrik tersebut juga terlihat
bahwa untuk pemenuhan
saprotan dan permodalan dapat menggunakan jasa
kelompok tani,
koperasi, dan juga gapoktan. Sementara untuk pemenuhan
informasi teknologi
dapat menggunakan wadah kelompok tani, Gapoktan, Pos
Penyuluhan Desa,
Klinik Agribisnis, dan Kelompok Pencapir (Pendengar,
Pembaca, dan
Pirsawan).
Dengan konfigurasi
seperti itu, maka setiap pilihan apa kelembagaan yang
akan digunakan sangat
tergantung kepada berbagai hal, di antaranya adalah skala
kegiatan, luas obyek
sasaran, metode yang digunakan, efektivitas dan efisiensi.
Satu hal yang harus
dipertimbangkan adalah lembaga apa yang paling siap untuk
diajak bekerjasama.
Namun pertanyaan yang terus menggelitik adalah: apakah kita
memang membutuhkan
seluruh kelembagaan tersebut di satu desa?
Kedua, sediakan waktu yang
cukup untuk mengembangkan kelembagaan.
Pihak pelaksana mesti
mampu menyesuaikan diri dengan kelembagaan petani
yang akan
dikembangkan. Kesalahan selama ini adalah karena menganggap
bahwa permasalahan
kelembagaan ada di tingkat petani belaka, bukan pada
superstrukturnya,
padahal mungkin permasalahan (dan sumber permasalahan) ada
pada pelaksana. Satu
hal yang harus digarisbawahi sebagaimana sudah sering
diingatkan adalah,
agar pihak pelaksana menyediakan waktu yang cukup untuk
mengembangkan sampai
cukup mandiri. Masa tahun anggaran yang satu tahun
tidak akan cukup
untuk menumbuhkan Gapoktan menjadi mandiri.
Ketiga, perlu dihindari sikap
yang memandang desa sebagai satu unit
interaksi sosial
ekonomi yang otonom dan padu. Meskipun Gapoktan bekerja
dalam satu unit desa,
namun perlu dibangun jejaring sosial (social network)
dengan Gapoktan lain.
Relasi yang dibangun bukan bersifat hierarkhisadministratif,
namun lebih ke
fungsional-ekonomi. Dalam hal peran Gapoktan
sebagai lembaga
pemasaran, maka relasi jangan membatasi diri hanya dengan
lembaga formal.
Relasi dengan para pelaku tata niaga, yang cenderung
menerapkan suasana
nonformal, perlu dibina dengan menerapkan prinsip saling
menguntungkan dan
keadilan.
Keempat, Gapoktan lebih banyak
berperan di luar aktivitas produksi atau
usahatani, karena
kegiatan tersebut telah dijalankan oleh kelompok-kelompok tani
serta petani secara
individual. Untuk terlibat dalam mekanisme pasar, maka
Gapoktan harus
merancang diri sebagai sebuah kelembagaan ekonomi dengan
beberapa
karakteristiknya adalah mengutamakan keuntungan, efisien, kalkulatif,
dan menciptakan
relasi-relasi yang personal dengan mitra usaha.
Kelima, Gapoktan hanyalah
salah satu komponen dalam pengembangan
kelembagaan
masyarakat perdesaan. Lebih khusus lagi, Gapoktan hanya bergerak
di bidang pertanian.
Dengan demikian, pengembangan Gapoktan haruslah berada
dalam kerangka
strategi yang lebih besar. Gapoktan hanyalah alat atau wadah
33
KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI
PERDESAAN Syahyuti
untuk mencapai tujuan
yang lebih besar. Sebagaimana dijelaskan di atas, maka
pembentukan dan
pengembangan Gapoktan haruslah berada dalam konteks
semangat otonomi
daerah, pemberdayaan masyarakat dan penumbuhan kemandirian
lokal.
PENUTUP
Sebagaimana
pendekatan pembangunan perdesaan dan pertanian pada
umumnya, pendekatan
kelembagaan masih menjadi salah satu strategi penting
dalam RPPK 2005-2025.
Permasalahan kelembagaan dalam RPPK relatif lebih
kompleks, karena
melibatkan banyak instansi, lembaga, dan stakeholders mulai
dari tingkat pusat
sampai daerah. Karena itulah, kemampuan mengenali permasalahan
kelembagaan, dan
selanjutnya mampu menyusun strategi kelembagaan yang
sesuai, merupakan
satu permasalahan yang esensial dalam RPPK tersebut.
Artinya, seluruh
pihak yang terlibat dalam RPPK, terutama di sektor pertanian,
perlu menyadari
permasalahan ini, sehingga faktor kelembagaan tidak menjadi
salah satu kendala
dalam implementasi program nantinya.
Dari berbagai level
permasalahan kelembagaan yang dapat dijumpai,
maka pengembangan
kelembagaan di tingkat lokal atau di tingkat komunitas perlu
mendapat perhatian
yang lebih. Hal ini bertolak dari kecenderungan pemikiran
akhir-akhir ini yang
meniscayakan perlunya perhatian kepada penguatan untuk
kemandirian komunitas
lokal. Untuk itu, pengembangan kelembagaan dalam
RPPK mesti dijiwai
oleh setidaknya tiga prinsip yang satu sama lain saling terkait
erat, yaitu
pengembangan kelembagaan dalam konteks otonomi daerah, pemberdayaan,
dan penguatan
kemandirian lokal.
Perumusan format upaya
pemberdayaan masyarakat desa haruslah
berbasis pada dua
prinsip dasar pendekatan. Pertama, bagaimana menciptakan
peluang bagi
masyarakat, serta yang kedua adalah meningkatkan kemampuan dan
kemandirian
masyarakat untuk memanfaatkan peluang tersebut. Dalam konteks
politik, prinsip ini
merupakan wujud pemberian pilihan (choice) kepada
masyarakat dan juga
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menyuarakan
aspirasinya (voice).
Implementasi prinsip ini jelas tidak harus baku atau standar,
akan tetapi akan tergantung
pada kondisi masing-masing masyarakat.
Upaya pemberdayaan
desa seyogyanya tidak dilakukan dengan berbasis
pada suatu “grand
scenario”, karena hal yang seperti itu tidak pernah mampu
memberikan hasil
sebagaimana yang diharapkan. Pada saat ini yang diperlukan
dalam rangka
pemberdayaan masyarakat desa adalah membangun prinsip dasar
yang dapat dijadikan
sebagai sebuah acuan dalam perumusan kebijakan
pemberdayaan desa,
yang disusun sendiri secara otonom oleh masing-masing
daerah. Dua prinsip
dasar yang disebutkan sebelumnya (penciptaan peluang dan
peningkatan
kemandirian memanfaatkan peluang tersebut) masih perlu dilengkapi
dengan prinsp-prinsip
lainnya, yang diharapkan muncul dari forum ini.
34
Analisis
Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007 : 15-35
Pembentukan dan
penumbuh Gapoktan mestilah ditempatkan dalam
konteks yang lebih
luas yaitu konteks pengembangan ekonomi dan kemandirian
masyarakat menuju
pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Rural
Development). Gapoktan hanyalah
alat, dan merupakan salah satu opsi kelembagaan
yang dapat dipilih;
bukan tujuan dan juga bukan keharusan. Penggunaan
kelembagaan yang
semata-mata hanya untuk mensukseskan kegiatan lain, dan
bukan untuk
pengembangan kelembagaan itu sendiri, sebagaimana selama ini;
hanya akan berakhir
dengan lembaga-lembaga Gapoktan yang semu, yang tidak
akan pernah eksis
secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian,
A., Supena F., Syahyuti, dan E. Ariningsih. 2003. Studi Baseline Program PHT
Perkebunan
Rakyat Lada di Bangka Belitung dan Lampung. Laporan Penelitian.
Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Amien,
Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Badan
Litbang Pertanian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
2005
– 2025. Dalam: http://www.litbang.deptan.go.id/rppk, 25 oktober 2005.
Badan
SDM Pertanian. 2006. Rencana Kerja Badan Pengembangan SDM Pertanian tahun
2006.
Rangkuman Hasil Rapim Badan SDM Pertanian Februari 2006. badan
SDM
Pertanian, Deptan. Jakarta.
Basri,
Faisal H. 2005. “Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah”. Universitas Brawijaya,
Malang.
(http://128.8.56.108/iris-data/PEG/Bahasa/malang/Malang tantangan.
pdf.,
22 Maret 2005).
Boyne,
George A. 1996. Competition and Local Government: A Public Choice
Perspective.
Urban Studies 33, 4-5: 703-721.
Chapman,
J.I. 1999. Local Government, Fiscal Autonomy and Fiscal Stress: The Case of
California.
Lincoln Institute of Land Policy Working Paper
(http://www.lincolninst.edu, 6
April 2005).
Deptan.
2006. Bahan Rapat Kerja Deptan dengan DPD-RI, tanggal 19 Juni 2006. Deptan,
Jakarta.
Kirlin,
John J. 1996. The Big Questions of Public Administration in a Democracy. Public
Administration
Review 56, 5 (September/October): 416-4320.
North,
Douglass C. 2005. Institutional Economics. http://nobelprize.org/economics/
laureates/1993/north-lecture.html, 27
April 2005.
Payne,
Malcom. 1997. Modern Social Work Theory. Second Edition. MacMillan Press
Ltd.,
London. Hal. 266.
Robin,
Lionel. 2005. Institutional Economics. http://www.msu.edu/user/schmid/
bromley.htm, 25
Oktober 2005.
35
KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN) SEBAGAI KELEMBAGAAN
EKONOMI DI
PERDESAAN Syahyuti
Saptana;
T. Pranadji; Syahyuti; dan Roosganda EM. 2003. Transformasi Kelembagaan
untuk
Mendukung Ekonomi Kerakyatan di Perdesaan. Laporan Penelitian. PSE,
Bogor.
Sekretaris
Jenderal Departemen Pertanian. 2006. Sambutan dalam acara Apresiasi
Wartawan
di Balai Pendidikan dan Latihan Hortikultura, Lembang, Bandung,
Jawa
Barat.
Syahyuti.
2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya
dalam
Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian,
Bogor
Taylor,
D.R.F. dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London Routledge.
Chapter
1 dan 10.
Uphoff,
Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With
Cases.
Kumarian Press.
Wolman,
Harold, and Michael Goldsmith. 1990. “Local Autonomy as a Meaningful
Analytic
Concept,” Urban Affairs Quarterly 26, 1 (September): 3-27.
World
Bank. 2005a. Institutional Analysis. Dalam: http://lnweb18.worldbank.org/ESSD/
sdvext.nsf/81ByDocName/ToolsandMethodsInstitutionalanalysis,
12 September
2005.
World
Bank. 2005b. Social Capital, Empowerment, and Community Driven Development.
(http://info.worldbank.org/etools/bspan/PresentationView.asp?PID=936&EI
D=482, 11
Mei 2005).
Zuraida,
Desiree dan J. Rizal (ed). 1993. Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan:
Pokok-pokok Pemikiran Selo Soemardjan.
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.